Vice President 4-H Indonesia: Pemerintah Harusnya Bangun Regenerasi Petani, Bukan Membesarkan Seremoni

Pewarta : Nurul Ikhsan | Editor : Heri Taufik

Jabarbisnis.com, Kuningan – Indonesia saat ini masih darurat regenerasi petani. Program petani milenial yang digulirkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat sejak dipimpin Ridwan Kamil, dianggap masih belum menjawab persoalan fundamental di sektor pertanian. Namun gagasan Petani Milenial layak diapresiasi sebagai bentuk ajakan bertani kepada generasi muda.

Penegasan tersebut disampaikan Vice President 4-H Indonesia, Ooy Haerudin, saat berbincang dengan Jabarbisnis di area perkebunan sayur, Kampung Mulyaasih, Desa Puncak, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Minggu (13/2/2022).

Vice President 4-H Indonesia, Ooy Haerudin melihat dari dekat perkebunan sayur di Desa Puncak, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Minggu (13/2/2022). FOTO: Jabarbisnis.com/Adam Gumelar.

Dijelaskan Ooy, sapaan akrabnya, Pemerintah Pusat dan Pemprov Jabar sudah seharusnya meninggalkan program yang hanya berorientasi proyek, karena menurutnya program tersebut tidak akan berkelanjutan. Ia meminta pemerintah lebih memaksimalkan fungsi perguruan tinggi untuk turun langsung melihat persoalan, dan membuat kongkrit program membangun sektor pertanian.

“Sebaiknya pemerintah pusat dan pemerintah daerah jangan lagi membuat program yang beorientasi proyek, program yang terkesan hebat, tapi program itu akan ikut habis saat pemimpin daerah atau kepala dinas teknis purna tugas. Seharusnya bagaimana program dirancang berkelanjutan, dan program tersebut betul-betul aplikatif dan menjawab persoalan fundamental di sektor pertanian di tanah air, seperti mempersiapkan SDM pertanian yang memiliki kompetensi dan leadership, dan menggandeng lembaga yang memiliki kapasitas untuk mewujudkan pertanian yang mensejahterakan petani, dan mampu menciptakan nilai surplus pertanian,” tandasnya.

Ooy Haerudin, yang juga Ketua Dewan Pembina Himpunan Tani Muda Indonesia (HITMI) saat berdialog dengan petani senior asal Desa Puncak, Bapak Teddy. FOTO: Jabarbisnis.com/Adam Gumelar.

Ia juga menyoroti peran pemerintah yang menurutnya masih berdiri di dua kaki, yaitu membuat kebijakan yang harus menguntungkan pelaku usaha seperti eksportir komoditas pertanian, dan mendorong produktivitas pertanian dalam negeri namun tanpa memberi kepastian kesejahteraan bagi petani, misalnya soal kebijakan harga.

“Bisa kita lihat, beberapa komoditas pertanian di impor dari negara lain seperti beras, bawang putih, cabe, kedelai, jagung, dan gandum-ganduman, belum lagi daging ayam, daging sapi, telur, kepiting, hingga pupuk dan tanaman obat. Tragisnya, pemerintah mengimpor saat petani tengah memanen padi yang berimbas jatuhnya harga gabah. Sampai hari ini belum ada kepastian dan jaminan bahwa petani bisa lebih sejahtera, karena pasar komoditas pertaniannya saja sudah tidak pro petani. Bohir dan kartel importir lah yang diuntungkan. Makanya regenerasi petani sulit dibangun, dan stigma petani itu miskin akan terus melekat di mindset generasi muda,” tegas Ooy, yang juga Ketua Dewan Pembina Himpunan Tani Muda Indonesia (HITMI).

Diungkapkan Ooy, sudah terlalu lama perguruan tinggi hanya mencetak sarjana pertanian, namun belum mampu menciptakan lulusan yang memang disiapkan secara kemampuan, dan leadership untuk membangun pertanian. Kondisi tersebut menurutnya tidak sejalan dengan program pemerintah membangun kemandirian pangan nasional dengan memperkuat regenerasi petani.

Ia juga mengkritisi program pemerintah yang masih menonjolkan seremoni dan mengabaikan program berkelanjutan. Ooy menilai pemerintah masih berkutat dengan program mercusuar namun lemah data dan sasaran.

“Kita masih saja membesarkan seremoninya, bukan kapada tujuan fundamentalnya yaitu membangun petani bisa berdaya dan sejahtera. Kita masih merasakan pertanian yang belum berkeadilan, apalagi pertanian yang mandiri, masih jauh. Ke depan, Indonesia butuh pemimpin daerah yang visoner dan memiliki roadmap yang jelas membangun sektor pertanian, dan tidak membesar-besarkan program pertanian yang selalu berhenti di seremoni. Kita butuh pemimpin yang kongkrit turun ke sawah, ke kebun, melihat langsung kurangnya irigasi, melihat ketersediaan bibit, pupuk, memutus mata rantai tengkulak yang nakal memainkan harga, mendorong penggunaan teknologi pertanian yang seharusnya digunakan, mendengar keluh kesah petani dan memberikan kongkrit solusinya,” tandasnya.

By Nurul Ikhsan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Menarik Lainnya